Onte, Pejuang Ekolabel dari Konawe Selatan
Onte, dengan organisasinya, JAUH, di Sulawesi Tenggara, telah berhasil memfasilitasi masyarakat sekitar hutan Konawe Selatan, mengelola perusahaan kayu mereka sendiri. Koperasi yang dirintisnya sejak tahun 2003, kini sukses melipatgandakan penghasilan masyarakat setempat dan menyejajarkan usaha mereka dengan perusahan kayu bonafit tingkat dunia.
Lelaki yang menggemari aktivitas pencinta alam ini menawarkan sebuah solusi alternatif untuk masyarakat yang hidup di dekat hutan agar dapat menjadi pemain kunci dalam bisnis perkayuan dunia. Masyarakat setempat dilatih dan didampinginya menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, dari proses penanaman hingga pengolahan kayu, agar memenuhi persyaratan ekolabel. Dampaknya, nilai jual kayu mereka meningkat tajam, dan keuntungan berlimpah pun direguk para pemilik lahan.
Soal Janji
Awalnya, tidak mudah meyakinkan masyarakat yang sudah muak dengan janji-janji tanpa bukti. Pemerintah sering menjanjikan akan memberikan hak kelola hutan negara kepada masyarakat setempat, namun kenyataannya, masyarakt justru hanya menjadi sapi perahan para cukong dan kambing hitam apabila terjadi masalah kerusakan hutan akibat pembalakan liar.
“Masyarakat Konawe Selatan yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan bekerja sebagai buruh di perusahan kayu swasta. Mereka digaji sangat rendah dan sering ditangkap petugas dalam kasus pembalakan liar,” tutur Onte yang bernama asli Silverius Oscar Unggul ini mengenang.
Mereka hidup tanpa penghasilan yang memadai. Sementara janji sertifikasi lahan dari pemerintah tak kunjung ditepati.
Ketika masyarakat Konawe Selatan lelah menunggu, Onte dengan organisasinya, JAUH memberikan satu janji lagi, meraih penghasilan lebih bersar dengan cara masyarakat mengelola hutan secara lestari, yang dimulai dari lahan milik mereka sendiri. Bagi Onte, sungguh tak mudah menawarkan sebuah janji lagi bagi masyarakat ini.
Adapun masyarakat Konawe Selatan umumnya memiliki tanaman jati merka sendiri. Mereka memiliki pohon, masing-masing sekitar 15 sampai 500-an pohon jati dengan diameter dan tinggi bervariasi.
“Sulit meyakinkan mereka. Hanya sekitar sepuluh keluarga yang akhirnya menuruti saran agar mengelola hutan kayu secara lestari,” ujar Onte, ayah dari Batistuta (5) dan Rivaldo (3), pria yang lahir dan besar di Kendari ini.
Koperasi
Sosok ayah yang murah senyum dan banyak menyimpan kata mutiara ini, lantas mendampingi keluarga-keluarga yang mau mendengar sarannya itu untuk membangun koperasi yang mereka namai Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Onte lantas membuktikan bahwa koperasi yang mereka dirikan mampu memenuhi semua persyaratan dan mendapatkan sertifikat ekolabel internasional dari SmartWood of the Forest Stewardship Council.
Pada tiga bulan pertama, berkat uapaya keras mereka menerapkan prinsip-prinsip ekolabel, setiap anggota Koperasi Hutan Jaya Lestari menerima pendapatan sebesar Rp 1.445.000 (US$ 160) untuk setiap meter kubik kayu yang mereka jual. Jumlah ini berarti penghasilan empat kali lebih banyak dari yang mereka peroleh sebelumnya, Rp 400.000 (US$ 40) per meter kubik bila kayu mereka jual kepada cukong. Selain itu, di akhir tahun koperasi juga memberikan dividen untuk setiap anggota sejumlah sekitar Rp 536.717 (US$ 60) dari keuntungan yang telah diperoleh koperasi mereka.
Keuntungan Terus Mengalir
Keuntungan yang diperoleh anggota KHJL bertambah dari waktu ke waktu. Tahun 2006, berkat ekolabel yang mereka terapkan, harga kayu mereka di pasaran lokal dan dunia semakin tinggi, dari Rp 600.000 menjadi 5.300.000 per meter kubik.
Aliran dana dari luar seolah tak terbendung, mengalir ke daerah Konawe Selatan. Kini masyarakat yang tinggal di “kaki” tenggara Pulau Sulawesi ini telah dapat merancang dana sosial untuk pendidikan dan kesehatan bagi anggota-anggota koperasi.
Masyarakat menjadi kompak dan terorganisasi dengan baik. Mereka mampu pula mengelola sumber daya alam lain selain kayu dengan cukup baik, sehingga koperasi KHJL kini juga dikenal sebagai penghasil ternak, tanaman obat-obatan, dan mampu menyediakan sumber bibit jati.
Pengahargaan dari berbagai pihak juga mereka peroleh, yakni sebagai pengelola hutan yang lestari dan berkelanjutan. Bahkan Presiden Yudhoyono telah berencana meluncurkan Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan akan memberikan kesempatan kepada koperasi setempat untuk mengelola hutan negara.
Perasaan masyarakat memiliki hutan sebagai sumber daya alam yang harus dijaga juga semakin menguat. Kini jumlah anggota koperasi pun terus bertambah. Masyarakat yang dulunya sangat sulit diyakinkan untuk bergabung dalam koperasi, kini berduyun-duyun mendaftarkan diri. Jumlah anggota koperasi
“Mereka kini meninggalkan para cukong dan memilih terlibat langsung memperbesar koperasi setempat,” ujar Onte yang ternyata juga berhasil merintis sebuah stasiun radio dan televisi yang cukup ternama dan populer di Kendari, yakni Radio Swara Alam dan Kendari TV.
Pemerintah daerah juga mendapatkan keuntungan dari adanya koperasi ini. Selama 2006, pemerintah memperoleh keuntungan sebesar sekitar Rp 256.000.000, dalam segala bentuk pembayaran. Ini belum termasuk Rp. 20.000 meter kubik untuk pendapatan desa.
Saat ditanya soal perasaannya saat menghadapi kesulitan, Onte mengatakan ia sudah terbiasa dan terlatih menderita.
“Pelaut ulung tidak dihasilkan dari lautan yang teduh, tapi dari lautan yang bergelombang,” ujar Onte kepada SH, yang berkesempatan menemuinya di lobi sebuah hotel di Jakarta, pada Jumat, 6 Juli 2007. Ia rupanya masih dapat mengingat perjuangannya yang cukup berat meyakinkan dan mendampingi masyarakat membangun koperasi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Kesulitan-kesulitan itu kini terasa tak berarti, selain karena ia sudah merasa terlatih menderita, itu juga karena mengingat hasil yang mereka capai yang ternyata cukup besar.
KHJL rupanya merupakan salah satu dari lima usaha perkayuan di Indonesia yang memperoleh sertifikat ekolabel, di mana keempat perusahaan lainnya merupakan perusahaan berskala besar, yakni PT Diamond Raya Timber, PT Intracawood Manufacturing, PT Sumalindo LJ Tbk, dan PT Erna Djuliawati.
KHJL ternyata merupakan satu-satunya koperasi di Asia Tenggara yang berhasil memperoleh sertifikat ekolabel, dan merupakan satu-satunya koperasi di dunia yang berhasil dalam pengelolaan hutan milik rakyat.
Tak Berhenti
Perjuangan Onte tidak berhenti hanya sampai membangun koperasi saja. Lelaki yang lahir 20 Juni 1971, dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Halu Oleo, Kendari pada 1998 ini, juga berjuang mengkampanyekan penggunaan kayu bersertifikat ekolabel ke masyarakat dunia.
Imbauannya mendapat respons sangat positif di mancanegara. Berbagai negara konsumen, antara lain Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat bersedia memperketat pembelian produk-produk kayu dari Indonesia, hanya pada yang bersertifikat ekolabel saja.
Pemerintahan di Uni Eropa kini juga mulai beramai-ramai menerapkan persyaratan penggunaan kayu ekolabel pada perusahaan-perusahaan furnitur di sana, agar setiap kayu yang digunakan hanya yang memenuhi standar yang ditetapkan Forest Stewardship Council (FSC), sebagai lembaga yang berwenang menetapkan standar ekolabel internasional.
Melalui perusahaan kayu berbasis komunitas, kini Onte yang mengidolakan Frank Lampard dan Xanana Gusmao ini telah membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk menjadi penyuplai kayu ramah lingkungan.
Mempertimbangkan besarnya kebutuhan kayu nasional dan dunia, Onte kini bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain untuk menyebarluaskan model koperasinya ini di Tanah Air. Kini, ia antara lain sedang berupaya mengembangkan koperasi di Papua, Sumatera, dan Jawa.
Onte berniat terus berjuang memperbaiki kondisi hutan di Tanah Air bersama rakyat setempat. Ibarat “Lima Roti dan Dua Ikan, yang diberkati Tuhan Yesus,” ujarnya dengan mata berbinar.
“Hutan yang telah rusak dan hancur masih bisa diperbaiki bila kita meminta pertolongan Tuhan Yesus, dan minta agar usaha kita membangun lingkungan diberkati-Nya. Bayangkan, ternyata tidak sampai dibutuhkan satu meter kubik (hanya perlu 0,63 meter kubik kayu) per hektare agar setiap anggota koperasi memperoleh sisa hasil usaha sebesar Rp 35.029.979 per tahun. Ini yang terjadi di Konawe Selatan pada 2006, dimana anggota koperasi baru berjumlah 246 keluarga. Belum lagi tahun 2007 ini, dimana jumlah anggota telah bertambah pesat, hingga 500-an keluarga,” lanjut Onte yang ternyata masa mudanya aktif sebagai pemain basket dan taekwondo ini.
Selama ini negara dirugikan Rp 30 triliun per tahun akibat pembalakan liar, artinya kalau dana itu diselamatkan oleh pemanfaatan hutan secara lestari, pendidikan di Indonesia bisa gratis, begitu juga biaya kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, apa pun rintangannya dan betapa tak tertolongnya kondisi Indonesia kelihatannya, Onte tetap bersemangat berjuang.
“Bintang bagus dilihat kalau langitnya gelap, kalau mau bersinar, bersinar sekarang ketika Indonesia masih gelap”, ujarnya dengan senyum ramah, menutup perbincangan dengan SH sebelum bertolak ke Papua pada malam harinya.
Dimuat di Sinar Harapan, 17 Juli 2007.