Jumat, 22 Agustus 2008

Onte

Onte, Pejuang Ekolabel dari Konawe Selatan


Onte, dengan organisasinya, JAUH, di Sulawesi Tenggara, telah berhasil memfasilitasi masyarakat sekitar hutan Konawe Selatan, mengelola perusahaan kayu mereka sendiri. Koperasi yang dirintisnya sejak tahun 2003, kini sukses melipatgandakan penghasilan masyarakat setempat dan menyejajarkan usaha mereka dengan perusahan kayu bonafit tingkat dunia.

Lelaki yang menggemari aktivitas pencinta alam ini menawarkan sebuah solusi alternatif untuk masyarakat yang hidup di dekat hutan agar dapat menjadi pemain kunci dalam bisnis perkayuan dunia. Masyarakat setempat dilatih dan didampinginya menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari, dari proses penanaman hingga pengolahan kayu, agar memenuhi persyaratan ekolabel. Dampaknya, nilai jual kayu mereka meningkat tajam, dan keuntungan berlimpah pun direguk para pemilik lahan.


Soal Janji

Awalnya, tidak mudah meyakinkan masyarakat yang sudah muak dengan janji-janji tanpa bukti. Pemerintah sering menjanjikan akan memberikan hak kelola hutan negara kepada masyarakat setempat, namun kenyataannya, masyarakt justru hanya menjadi sapi perahan para cukong dan kambing hitam apabila terjadi masalah kerusakan hutan akibat pembalakan liar.

“Masyarakat Konawe Selatan yang tinggal di sekitar hutan kebanyakan bekerja sebagai buruh di perusahan kayu swasta. Mereka digaji sangat rendah dan sering ditangkap petugas dalam kasus pembalakan liar,” tutur Onte yang bernama asli Silverius Oscar Unggul ini mengenang.

Mereka hidup tanpa penghasilan yang memadai. Sementara janji sertifikasi lahan dari pemerintah tak kunjung ditepati.

Ketika masyarakat Konawe Selatan lelah menunggu, Onte dengan organisasinya, JAUH memberikan satu janji lagi, meraih penghasilan lebih bersar dengan cara masyarakat mengelola hutan secara lestari, yang dimulai dari lahan milik mereka sendiri. Bagi Onte, sungguh tak mudah menawarkan sebuah janji lagi bagi masyarakat ini.

Adapun masyarakat Konawe Selatan umumnya memiliki tanaman jati merka sendiri. Mereka memiliki pohon, masing-masing sekitar 15 sampai 500-an pohon jati dengan diameter dan tinggi bervariasi.

“Sulit meyakinkan mereka. Hanya sekitar sepuluh keluarga yang akhirnya menuruti saran agar mengelola hutan kayu secara lestari,” ujar Onte, ayah dari Batistuta (5) dan Rivaldo (3), pria yang lahir dan besar di Kendari ini.


Koperasi

Sosok ayah yang murah senyum dan banyak menyimpan kata mutiara ini, lantas mendampingi keluarga-keluarga yang mau mendengar sarannya itu untuk membangun koperasi yang mereka namai Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Onte lantas membuktikan bahwa koperasi yang mereka dirikan mampu memenuhi semua persyaratan dan mendapatkan sertifikat ekolabel internasional dari SmartWood of the Forest Stewardship Council.

Pada tiga bulan pertama, berkat uapaya keras mereka menerapkan prinsip-prinsip ekolabel, setiap anggota Koperasi Hutan Jaya Lestari menerima pendapatan sebesar Rp 1.445.000 (US$ 160) untuk setiap meter kubik kayu yang mereka jual. Jumlah ini berarti penghasilan empat kali lebih banyak dari yang mereka peroleh sebelumnya, Rp 400.000 (US$ 40) per meter kubik bila kayu mereka jual kepada cukong. Selain itu, di akhir tahun koperasi juga memberikan dividen untuk setiap anggota sejumlah sekitar Rp 536.717 (US$ 60) dari keuntungan yang telah diperoleh koperasi mereka.


Keuntungan Terus Mengalir

Keuntungan yang diperoleh anggota KHJL bertambah dari waktu ke waktu. Tahun 2006, berkat ekolabel yang mereka terapkan, harga kayu mereka di pasaran lokal dan dunia semakin tinggi, dari Rp 600.000 menjadi 5.300.000 per meter kubik.

Aliran dana dari luar seolah tak terbendung, mengalir ke daerah Konawe Selatan. Kini masyarakat yang tinggal di “kaki” tenggara Pulau Sulawesi ini telah dapat merancang dana sosial untuk pendidikan dan kesehatan bagi anggota-anggota koperasi.

Masyarakat menjadi kompak dan terorganisasi dengan baik. Mereka mampu pula mengelola sumber daya alam lain selain kayu dengan cukup baik, sehingga koperasi KHJL kini juga dikenal sebagai penghasil ternak, tanaman obat-obatan, dan mampu menyediakan sumber bibit jati.

Pengahargaan dari berbagai pihak juga mereka peroleh, yakni sebagai pengelola hutan yang lestari dan berkelanjutan. Bahkan Presiden Yudhoyono telah berencana meluncurkan Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan akan memberikan kesempatan kepada koperasi setempat untuk mengelola hutan negara.

Perasaan masyarakat memiliki hutan sebagai sumber daya alam yang harus dijaga juga semakin menguat. Kini jumlah anggota koperasi pun terus bertambah. Masyarakat yang dulunya sangat sulit diyakinkan untuk bergabung dalam koperasi, kini berduyun-duyun mendaftarkan diri. Jumlah anggota koperasi

“Mereka kini meninggalkan para cukong dan memilih terlibat langsung memperbesar koperasi setempat,” ujar Onte yang ternyata juga berhasil merintis sebuah stasiun radio dan televisi yang cukup ternama dan populer di Kendari, yakni Radio Swara Alam dan Kendari TV.

Pemerintah daerah juga mendapatkan keuntungan dari adanya koperasi ini. Selama 2006, pemerintah memperoleh keuntungan sebesar sekitar Rp 256.000.000, dalam segala bentuk pembayaran. Ini belum termasuk Rp. 20.000 meter kubik untuk pendapatan desa.

Saat ditanya soal perasaannya saat menghadapi kesulitan, Onte mengatakan ia sudah terbiasa dan terlatih menderita.

“Pelaut ulung tidak dihasilkan dari lautan yang teduh, tapi dari lautan yang bergelombang,” ujar Onte kepada SH, yang berkesempatan menemuinya di lobi sebuah hotel di Jakarta, pada Jumat, 6 Juli 2007. Ia rupanya masih dapat mengingat perjuangannya yang cukup berat meyakinkan dan mendampingi masyarakat membangun koperasi yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Kesulitan-kesulitan itu kini terasa tak berarti, selain karena ia sudah merasa terlatih menderita, itu juga karena mengingat hasil yang mereka capai yang ternyata cukup besar.

KHJL rupanya merupakan salah satu dari lima usaha perkayuan di Indonesia yang memperoleh sertifikat ekolabel, di mana keempat perusahaan lainnya merupakan perusahaan berskala besar, yakni PT Diamond Raya Timber, PT Intracawood Manufacturing, PT Sumalindo LJ Tbk, dan PT Erna Djuliawati.

KHJL ternyata merupakan satu-satunya koperasi di Asia Tenggara yang berhasil memperoleh sertifikat ekolabel, dan merupakan satu-satunya koperasi di dunia yang berhasil dalam pengelolaan hutan milik rakyat.


Tak Berhenti

Perjuangan Onte tidak berhenti hanya sampai membangun koperasi saja. Lelaki yang lahir 20 Juni 1971, dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Halu Oleo, Kendari pada 1998 ini, juga berjuang mengkampanyekan penggunaan kayu bersertifikat ekolabel ke masyarakat dunia.

Imbauannya mendapat respons sangat positif di mancanegara. Berbagai negara konsumen, antara lain Jepang, Belanda, dan Amerika Serikat bersedia memperketat pembelian produk-produk kayu dari Indonesia, hanya pada yang bersertifikat ekolabel saja.

Pemerintahan di Uni Eropa kini juga mulai beramai-ramai menerapkan persyaratan penggunaan kayu ekolabel pada perusahaan-perusahaan furnitur di sana, agar setiap kayu yang digunakan hanya yang memenuhi standar yang ditetapkan Forest Stewardship Council (FSC), sebagai lembaga yang berwenang menetapkan standar ekolabel internasional.

Melalui perusahaan kayu berbasis komunitas, kini Onte yang mengidolakan Frank Lampard dan Xanana Gusmao ini telah membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk menjadi penyuplai kayu ramah lingkungan.

Mempertimbangkan besarnya kebutuhan kayu nasional dan dunia, Onte kini bekerja sama dengan organisasi-organisasi lain untuk menyebarluaskan model koperasinya ini di Tanah Air. Kini, ia antara lain sedang berupaya mengembangkan koperasi di Papua, Sumatera, dan Jawa.

Onte berniat terus berjuang memperbaiki kondisi hutan di Tanah Air bersama rakyat setempat. Ibarat “Lima Roti dan Dua Ikan, yang diberkati Tuhan Yesus,” ujarnya dengan mata berbinar.

“Hutan yang telah rusak dan hancur masih bisa diperbaiki bila kita meminta pertolongan Tuhan Yesus, dan minta agar usaha kita membangun lingkungan diberkati-Nya. Bayangkan, ternyata tidak sampai dibutuhkan satu meter kubik (hanya perlu 0,63 meter kubik kayu) per hektare agar setiap anggota koperasi memperoleh sisa hasil usaha sebesar Rp 35.029.979 per tahun. Ini yang terjadi di Konawe Selatan pada 2006, dimana anggota koperasi baru berjumlah 246 keluarga. Belum lagi tahun 2007 ini, dimana jumlah anggota telah bertambah pesat, hingga 500-an keluarga,” lanjut Onte yang ternyata masa mudanya aktif sebagai pemain basket dan taekwondo ini.

Selama ini negara dirugikan Rp 30 triliun per tahun akibat pembalakan liar, artinya kalau dana itu diselamatkan oleh pemanfaatan hutan secara lestari, pendidikan di Indonesia bisa gratis, begitu juga biaya kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, apa pun rintangannya dan betapa tak tertolongnya kondisi Indonesia kelihatannya, Onte tetap bersemangat berjuang.

“Bintang bagus dilihat kalau langitnya gelap, kalau mau bersinar, bersinar sekarang ketika Indonesia masih gelap”, ujarnya dengan senyum ramah, menutup perbincangan dengan SH sebelum bertolak ke Papua pada malam harinya.

Dimuat di Sinar Harapan, 17 Juli 2007.





Jumat, 15 Agustus 2008

Daniel Marguari

Pertemuan dengan Daniel dengan teman-temannya sekantor....relaks, tapi bersemangat..

Santoso

Santoso, sang Peretas Kebebasan Informasi


Pada sekitar tahun 1987-an sampai-1989-an, Santoso (42) adalah salah satu mahasiswa yang memperjuangkan nasib para petani Cimacan yang tergusur. Satu dekade kemudian, di tahun 1999, ia memulai perjuangan baru, merintis kantor berita independen yang kini tengah berkembang pesat, bahkan hingga mancanegara.


Selama permerintahan Orde Baru, akses informasi kepada masyarakat melalui media radio dibatasi pemerintah hanya melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Bertahun-tahun radio tak boleh memproduksi berita sendiri. Mereka hanya diwajibkan merelai berita dari radio pemerintah hampir tiap jam dalam sehari.


Santoso, lantas tergerak memikirkan cara agar masyarakat dapat mengakses informasi yang berkualitas secara bebas. Tujuannya antara lain agar masyarakat mendapat informasi yang benar dan bebas dari manipulasi pihak-pihak yang berkuasa. Dengan demikian masyarakat dapat bertindak berdasarkan pikiran yang jernih, dilatari informasi yang benar dan akurat.


Pada selembar kertas bekas amplop yang dilebarkannya, tujuh tahun lalu tepatnya di penghujung 1998, Santoso menulis konsep pertama idenya tentang mekanisme penyebaran suatu berita. Ide jaringan kerja pertama yang dituangkannya dalam coretan-coretan kasar itu lantas didiskusikannya dengan enam reporter yang baru direkrutnya. Diskusi yang mereka lakukan di Kedai Tempo Utan Kayu itu lantas menelurkan nama “68H”, yang mereka ambil dari lokasi studio kecil mereka, di Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta. Maka jadilah Kantor Berita Radio 68H (KBR 68H).


Jaringan kantor berita yang dirintis Santoso itu kini menggurita di tingkat lokal bahkan hingga ke mancanegara. Sebanyak 503 stasiun radio lokal dan mancanegara merelai siarannya. Ini berarti ada lebih dari 13 juta pasang telinga mendengar beritanya yang berkualitas dan akurat.


Saat wawancara di Kedai Tempo di area Komunitas Utan Kayu, Jumat 22 Juni 2007, Santoso yang tampil sederhana dengan kaos putihnya menyambut SH dengan tawa akrab. Ia menenteng buku-buku yang diterbitkan KBR 68H, selain buku yang ditulisnya sendiri tentang jejak langkah KBR 68H yang kini tengah berkembang pesat. KBR yang berawal dari ide sederhananya itu kini telah menjadi industri penyiaran, yang memiliki jaringan bukan hanya menjangkau daerah-daerah terpencil di Indonesia, melainkan hingga ke tingkat Asia dan dunia.


Misi pokok kantor berita ini adalah menyediakan informasi kepada masyarakat. “Masyarakat yang mendapatkan cukup informasi akan bisa memutuskan persoalan-persoalan dengan lebih matang,” ujar ayah dari Ivan Rangga Pratama (11) ini sambil memperlihatkan foto-foto kegiatan KBR 68H merintis pembangunan stasiun radio di Yahukimo, Irian Jaya.


Santoso berhasil mengembangkan industri radio berita independen yang memungkinkan terdistribusinya informasi secara bebas ke seluruh penjuru Indonesia. KBR 68H secara aktif juga membantu perintisan radio-radio di daerah terpencil, antara lain di Bintuni, Manokwari, Tual, dan Seram, selain di Yahukimo dan Paniai.


Pembangunan stasiun radio di daerah terpencil seringkali juga berarti membangun infrastruktur dan membangun sumber tenaga listrik untuk pemancar. Pada saat membangun stasiun radio Yahukimo contohnya, Santoso yang memiliki hobi naik gunung ini, sempat berkonsultasi kepada Tri Mumpuni dan juga perusahaan energi alternatif di Sentani untuk membangun listrik tenaga matahari.


Kantor berita yang dirintis lelaki kelahiran 3 November 1964 ini juga berperan membantu membangun kembali stasiun-stasiun radio yang rusak akibat bencana, antara lain di wilayah Aceh, yang hampir seluruh stasiun radionya telah diporandakan tsunami.


Inovasi

Yang dikembangkan Santosa bukan sekadar stasiun radio, melainkan kantor berita yang memproduksi program-program dan disiarkan oleh anggota jaringan radio.


Kantor Berita Radio 68H telah mampu mengubah pola layanan stasiun radio lokal kepada pendengarnya. Awalnya hampir tidak ada stasiun radio yang memproduksi program berita. Santoso telah mampu meyakinkan stasiun radio hiburan untuk mau terlibat dan turut membangun jaringan radio jurnalistik. Bersama-sama mereka mengembangkan program-program berkualitas yang mampu menjawab minat dan kebutuhan para pendengar, selain juga turut membangun sektor suplai jurnalis radio profesional yang baru.


“Mula-mula penyebaran informasi KBR 68H dilakukan melalui internet, tapi ini mahal dan lambat. Lantas kami menyewa satelit PSN, dan sekarang Satelindo.” Ujar suami dari Wiwin Rubay yang juga memiliki hobi berkebun.


“Pada 1999, KBR 68H awalnya direlai tujuh radio di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar,” ujar Santoso yang dari semula berkeinginan membangun sebuah jaringan radio publik yang dapat menjadi “pendamping proses demokratisasi” di Indonesia.


“Tujuan utama saya adalah melayani masyarakat, KBR 68H hanya fasilitas saja,”


Keberadaan kantor berita independen ini merupakan ide murninya, namun Santoso tak memungkiri adanya kantor berita di luar negeri yang melakukan hal yang mirip dengan apa yang dilakukan KBR 68H, antara lain Kantor Berita Nasional Public America (NPR) yang memiliki jaringan ratusan stasiun radio, juga ARN di Inggris, dan Pulsar di Amerika Latin.


Tantangan

Membangun kantor berita independen yang selama ini “ditabukan” pemerintah merupakan keasyikan tersendiri bagi Santoso, sehingga ia merasa enjoy apa pun tantangannya. Jurnalis yang sebenarnya bercita-cita menjadi insinyur ini mengaku tantangan saat merintis kantor berita ini lebih kepada soal teknologi dan resistensi pihak-pihak tertentu dalam menyikapi ide KBR 68H.

“Tantangannya ialah bagaimana cara membuat delivery program secara cepat, menyikapi perubahan, dan mempertahankan keberlanjutan program berita agar dapat diakomodasi pasar,”


Harapan

Santoso belum merasa cukup dengan KBR 68H. Menurutnya perlu ada media lain. Oleh karena itu KBR 68H juga mengupayakan mengemas acara radio dalam program televisi, dan merintis kerja sama dengan beberapa stasiun televisi nasional dan mancanegara. Santoso juga berharap siarannya semakin mendunia.


Lelaki bernama samaranTosca ini merupakan orang yang paling dicari pemerintah di era Orde Baru. Ia aktif memperjuangkan kebebasan pers melalui gerakan bawah tanah dengan mengelola penerbitan tanpa SIUP, Independen, yang menjadi lambang perlawanan terhadap pemerintah masa itu.


Lelaki yang pernah mengamen di kereta dan aktif di LBH Ampera (1989) ini turut membantu petani-petani di Cimacan dan Rancamaya yang kala itu tergusur pembangunan lapangan golf. “Saya mau mengembangkan KBR 68H jadi TV di lingkup Asia, termasuk di Singapura, Kamboja, Thailand, dan Filipina. Saat ini KBR 68H sudah bekerja sama dengan 13 radio di Australia; sedang berunding dengan Burma, Pakistan, dan Afganistan; serta telah bekerja sama antara lain dengan radio Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika.


“Saya tidak terlalu aktif di politik. Kalau perlu baru aktif,” ujar anak pertama yang pernah ikut mendirikan PAN 1999 dan Jadi Wakil Sekjen PAN Faisal Basri.

“Saya lebih konsen ke media,”


Santoso telah membawa kepada masyarakat isi berita yang benar-benar berbeda, antara lain dari tingkat lokal ke lintas negara.

Masalah-masalah sensitif seperti toleransi beragama dan pluralisme dapat didiskusikan secara terbuka melalui program interaktifnya.



Dimuat di Sinar Harapan 3 Juli 2007.

Senin, 11 Agustus 2008

Drayton

Bill Drayton:


Pelopor Wirausaha Sosial Dunia


Bill Drayton muda, dalam usianya yang ke-20 tahun, mengendarai volkswagen merah-putihnya dari Munich ke India untuk menyaksikan suatu peristiwa penting. Pada waktu itu, tahun 1963, di India, seorang bernama Vinoba Bhave mendapatkan hadiah tanah seluas tujuh juta hektare dari masyarakat. Drayton pun datang ke India khusus untuk menyaksikan acara serah terima hadiah itu.


Vinoba Bhave rupanya telah berkeliling India, membujuk para individu dan masyarakat desa agar menghadiahinya tanah secara legal. Bhave kemudian mendistribusikan tanah seluas tujuh juta hektare itu secara merata dan membantu mereka yang tidak memiliki lahan.


Pendistribusian tanah berlangsung damai, dan Drayton melihat tindakan Vinoba sebagai langkah inovatif memutus lingkaran tali kemiskinan yang menjerat masyarakat India saat itu.


Pada waktu itu, Bill Drayton menyaksikan sebuah gagasan sederhana yang mampu memberi dampak sosial yang luas. Bagi Drayton, Vinoba merupakan sosok pemimpin yang mampu mengubah daya sebuah gagasan menjadi kenyataan.


Inilah model perubahan yang disebut Drayton sebagai social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial. Itu adalah istilah untuk mendeskripsikan aktivitas individu yang mengombinasikan metode pragmatis berorientasi hasil dari seorang usahawan bisnis, dengan tujuan seorang reformis sosial.


Pelopor Wirausaha

Bill Drayton sendiri menunjukkan kemampuannya sebagai wirausaha sosial sejak usia dini. Di sekolah dasarnya di New York dia memprakarsai pembuatan koran sekolah dan mampu mendistribusikannya ke sekolah-sekolah lain. Saat duduk di bangku SMU, dia mendirikan Asia Society dan menjadikannya sebagai organisasi siswa terbesar.

Saat kuliah di Yale Law School ia meluncurkan Yale Legislative Services, yang setelah dia lulus mampu melibatkan sepertiga anggota OSIS membantu para legislator merancang dan mendrafkan peraturan pemerintah.

Empat tahun saat bergabung dengan Kantor Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat masa pemerintahan Clinton, mendorong Drayton ber-“intrapreneur” dengan sederetan inovasi dan reformasi di bidang administrasi pengelolaan lingkungan.

Ia terlibat aktif mulai dari pengenalan perdagangan gas emisi sampai membangun asosiasi manajer profesional bidang lingkungan, yang berhasil membuat banyak pihak menyadari kebijakan pemerintah yang merusak.

Drayton kemudian juga mendirikan dan memimpin Environmental Safety yang membantu masyarakat mengembangkan dan menyebarluaskan cara-cara penerapan undang-undang lingkungan yang lebih baik.

Dedikasi dan kepeduliannya terhadap perubahan sosial pun telah diakui dunia berkontribusi banyak pada makin berkembangnya sektor masyarakat sipil dunia.

Sejak awal 60-an, penjelajahan Bill Drayton muda ke Asia, khususnya India, telah mendorongnya mengadakan solusi atas masalah kesejahteraan dunia yang tidak merata.

Pencariannya terhadap cara-cara inovatif untuk membuat perubahan, walau dengan sumber daya terbatas, mendorongnya memprakarsai pendekatan kewirausahaan sosial dan melahirkan lembaga bernama Ashoka.

Ashoka mencita-citakan dunia, di mana setiap orang sebagai pembaharu. Untuk itu misinya adalah memperkuat sektor masyarakat sipil melalui pendekatan kewirausahaan sosial.

Ashoka meyakini sektor sosial yang produktif, berjiwa, dan berdaya saing mampu menciptakan lingkungan, di mana setiap orang bisa menjadi pembawa perubahan.

Pilar penting yang dibutuhkan masyarakat adalah adanya solusi inovatif yang dihasilkan para wirausaha sosial. Untuk itu Ashoka menggalang dukungan masyarakat untuk menanamkan investasi sosialnya bagi identifikasi, seleksi, dan dukungan kepada wirausaha sosial, melalui solusi inovatif dan organisasinya.

Investasi ini efektif membuat para wirausaha sosial secara purnawaktu dapat menyebarkan dampak sosial bagi jutaan masyarakat Indonesia dan dunia.

Di samping itu, dibutuhkan pula inovasi infrastruktur bidang keuangan, sumber daya, dan kemitraan lintas sektor, sehingga para wirausaha sosial mampu mempercepat proses perubahan yang dibutuhkan masyarakat.

Ashoka menjalin kerja sama dengan berbagai pihak bagi pemenuhan kebutuhan infrastruktur di sektor sosial. Kini lebih dari 1.700 wirausaha sosial atau Fellow Ashoka di 65 negara di dunia bergabung dalam jaringan asosiasi global Ashoka.

Lebih dari 100 di antaranya berada di Indonesia, dan terus mendedikasikan diri bagi tumbuhnya lebih banyak lagi pembawa perubahan tingkat lokal.

Sebagaimana dikutip dari pidato mantan Presiden Clinton baru-baru ini, “…Saya harap berumur cukup panjang untuk melihat Bill Drayton memenangkan Hadiah Nobel. Saya mengenalnya sepanjang hidup saya. …Saya pikir, di dunia ini kepada orang-orang semacam inilah kita harus hidup berharap.”

Melalui lembaga global Ashoka: Pembaharu bagi Masyarakat yang berbasis di Arlington, Virginia, Drayton berkeinginan menemukan pemimpin-pemimpin pembawa perubahan di dunia, memberi dukungan, dan menyediakan “social venture capital” secukupnya. Ia juga mengamati perkembangan kelembagaaan dan peningkatan standar hidup mereka.


Di Indonesia Ashoka hadir lebih dari 20 tahun dan telah mendukung lebih dari 120 wirausaha sosial.


Lama Drayton mengamati pemerintah yang bisa tidak efisien, sektor swasta yang termotivasi oleh profit, dan sektor nirlaba yang siap memberi perubahan. Sektor masyarakat madani ini, seperti yang diistilahkan Drayton, berkembang cepat.


Di Amerika, 70 persen LSM yang terdaftar berusia di bawah 30 tahun. Di Indonesia sendiri, pada awal era 70-an hanya terdapat 1 LSM lingkungan, dan kini jumlahnya sudah lebih dari 30.000 buah. Rupanya, makin banyak orang ingin melakukan jenis pekerjaan ini.


Terjadinya perubahan dalam sektor masyarakat madani dapat diakui berkat kerja keras Drayton. Hidupnya didedikasikan bukan hanya untuk mengembangkan Ashoka saja, melainkan termasuk sektor untuk masyarakat madani.


“Bill adalah seorang pionir, dia sudah membangun fondasi bagi kita semua,” komentar J Gregory Dees, profesor dari Fuqua School of Bisnis, Duke University.

Dalam banyak hal, hidup Drayton mengarah pada perjalanan panjang proses pembelajaran cara mengubah sistem. Di Harvard dia membentuk “Meja Ashoka”, di mana para pelajar dapat bertanya pada pemerintah dan pelaku industri soal bagaimana sebetulnya dunia ini bekerja.

Setelah lulus dari Oxford dan Yale Law School, saat bekerja di McKinsey & Co, Drayton belajar tentang kebijakan publik dan perindustrian. Saat memberi konsultasi kepada pemerintah Kota New York, dia bahkan menciptakan pajak pertama di Amerika untuk nikotin dan tar. (mira/wheny)

Dimuat di Sinar Harapan, 5 Juni 2007.




Dynand

Pria Kota Kecil yang Bermimpi Besar

Oleh: Wheny Hari Muljati


Sosok ini kelihatannya biasa-biasa saja. Sekilas penampilannya seperti pria-pria di dunia mode pada umumnya, stylish, asyik diajak mengobrol, dan suka bicara soal gaya. Siapa sangka, dalam diri pria berkulit sawo matang ini ternyata juga tersimpan suatu daya luar biasa.


Perarakan spektakuler itu dipenuhi remaja dan pemuda dengan kostum penuh warna, berbagai aksesoris mencolok, dan topi-topi artistik beraneka rupa. Turis dari dalam dan luar negeri tak henti menjepretkan kameranya dan merekam ajang tahunan Kota Jember yang telah menginjak tahun kelimanya itu. Tak kurang dari enam media besar dunia rutin meliput parade akbar itu, mulai dari Reuters, AP, bahkan AFP dan juga EPA.

Siapa sangka, sosok di balik hajatan besar di kota kecil yang letaknya nyaris di ujung timur Pulau Jawa itu, adalah pria biasa dari Desa Garahan, Silo, Jember. Pria yang tampaknya juga tak pelit menunjukkan senyum ramahnya ini adalah Dynand Fariz.

Dynand, yang kurang lebih tiga dasa warsa sebelumnya adalah sesosok remaja yang sedang asyik berkutat mencari identitas dirinya, begitu menginjak dewasa memiliki kerinduan mengentaskan masyarakat di kota kecilnya dari ketertinggalannya dibanding kota lain.

“Nama Kota Jember sebelumnya kurang berbicara di kancah nasional,” ujar Dynand mengenang. Bahkan seingatnya tak ada satu pelajar Jember pun yang lolos di pemilihan paskibraka tingkat nasional. Kondisi itulah awalnya yang mendorongnya berkarya bagi kota kelahirannya itu. Ia ingin Jember dikenal dunia luar, baik di Indonesia maupun di mancanegara.

Dynand lantas mulai membangun mimpi untuk kota kecilnya itu. Mimpi itu rupanya semakin kuat manakala ia melihat minimnya sarana dan prasarana pendidikan di kotanya bagi kalangan muda. Hati Dynand tergerak manakala dirinya melihat banyaknya anak muda, terlebih dari kalangan tidak mampu yang tidak jelas masa depannya. Mulai saat itulah semakin kuat keinginan Dynan membantu mereka, agar para pemuda dan pemudi di Jember itu memiliki penghidupan yang lebih baik di masa depan.

Dynand, diilhami oleh mimpinya itu, lantas menggagas “Jember Fashion Carnaval” (JFC), suatu karnaval besar yang akan diselenggarakan dan didanai sendiri oleh masyarakat Jember. Gagasan besarnya itu bagi banyak kalangan mustahil dilakukan oleh kota sekecil Jember, di mana kondisi perekonomian sebagian penduduknya kurang baik, bahkan cenderung serbakekurangan. Namun Dynand tetap yakin dengan mimpinya itu. Prinsipnya, jangan takut bermimpi besar, karena sesulit apa pun, mimpi itu tetap bisa jadi kenyataan.

Ia lantas mendekati kalangan muda secara personal. Satu demi satu, kelompok demi kelompok diajaknya bermimpi. Ia tak henti mengajak bicara pemuda pemudi di desanya untuk menyadari keberadaan mereka dan menyemangati mereka agar mau keluar dari kungkungan kemiskinan, keterbatasan, dan ketertinggalan.

“Saya selalu memotivasi mereka agar berani bermimpi besar, karena saya sendiri tidak pernah takut bermimpi besar. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Sesulit apa pun kendalanya, mimpi tetap bisa jadi kenyataan,” ujarnya lagi, untuk menekankan bahwa ia memang meyakini hal itu secara total.

“Tuhan akan membantu setiap orang yang berjuang dengan tulus untuk tujuan yang baik. Kesulitan apa pun akan teratasi, kalaupun keberhasilan tertunda, itu hanya masalah waktu,” ujar lelaki yang matanya selalu tampak berbinar ini dengan penuh keyakinan.

Para remaja desa itu lantas termotivasi oleh ajakan pria yang bertutur kata lembut namun terkesan tegas ini. Mereka dengan tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Dynand, baik pelajaran desain, koreografi, kepribadian, bahkan kepemimpinan.

Dynand bahkan tak gentar ketika banyak kalangan memandang negatif gagasan uniknya ini. Ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, Dynand, si pencinta segala hal yang berbau hiburan ini tetap tekun mengajar anak-anak muda, bukan saja soal mode, tetapi juga kepribadian. Ia tak jemu memotivasi mereka agar bermimpi besar, seperti berkeliling dunia, bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara, dan sebagainya.

Jember Fashion Carnaval (JFC) ternyata bukan sekadar impian di siang bolong. Gagasan yang telah menjadi impian itu seperti melaju di tangan para pemuda pemudi yang telah disemangatinya. Tahun berikutnya, enam bulan setelah gagasan itu pertama kali muncul, di bulan Januari dan Agustus 2002, Kota Jember yang kecil itu telah menyentak “dunia luar” dengan festival fesyennya yang spektakuler.

Tak tampak lagi pemuda pemudi yang kurang percaya diri. Jejak mereka digantikan langkah-langkah tungkai di fashion run way sepanjang 3,6 kilometer, yang merupakan run way terpanjang di dunia, mengatasi rekor parade di Brasil yang hanya sepanjang 1,1 kilometer.

“Luar biasa. Mukjizat,” kenang Dynand dengan mata berbinar-binar mengingat keberhasilan JFC yang telah berlangsung lima kali berturut-turut dalam empat tahun terakhir dan tahun ini sudah akan menjelang ajang yang keenam kalinya.

Kata-kata itu terdengar bukan sekadar meluncur dengan maksud menyombongkan diri, melainkan karena benar-benar keluar dari rasa syukur karena menurutnya, keberhasilannya itu semata karena campur tangan Tuhan. “Banyak hal mustahil yang terjadi di luar kekuasaan saya, sehingga JFC ini bisa terwujud,” ujar pria kelahiran 23 Mei 1963, yang mengagumi ibu dan kakak tertuanya ini.

Menjelang JFC, berkat binaannya, ratusan pemuda pemudi dari kota kecil itu lantas mendesain baju, topi, dan aksesoris mereka sendiri sesuai tema yang mereka sepakati. Bahkan mereka berlatih koreografi, menyanyi, menjadi presenter, dan juga berlatih menjadi instruktur sebelum akhirnya tumpah di jalanan, melenggak-lenggok bak model di fashion run away.

Prinsip yang ditanamkan Dynand yang akrab dipanggil Mas Fariz ini pada para anak didiknya itu adalah, tak membiarkan pandangan khalayak sedetik pun beralih dari atraksi yang mereka pertunjukan.

“Hitungannya, per detik penonton harus terpikat. Jangan beri kesempatan mereka bosan,” ujar Dynand mengulang apa yang sering dikatakannya kepada anak asuhannya.

Siapa sangka, ratusan pemuda pemudi dan remaja dengan wajah dan tubuh yang penuh lukisan atraktif, serta kostum dan aksesoris itu mendesain semuanya sendiri. Dan siapa sangka, di balik langkah sempurna dan penuh percaya diri para “catwalker” Kota Jember yang mulai sering menghadiri undangan festival dari kota lain itu, ada sosok rendah hati, biasa, namun yang berani bermimpi besar, yakni Dynand.

Mimpi Dynand dan pemuda pemudi Kota Jember itu memang telah menjadi kenyataan. Namun Dynand belumlah berhenti, ia masih mengajak kotanya bermimpi, menjadikan Jember sebagai Carnival City, yakni kota yang memenuhi persyaratan kota festival tingkat dunia.

“Pertunjukan kami selalu eksklusif dan total,” ujar Dynand Fariz, sang motivator sambil menunjukkan foto-foto dan brosur-brosur JFC. Parade fesyen yang foto-fotonya dapat kita lihat di situs www.jemberfashioncarnaval ini mengandung daya magnit yang tak kalah menarik dengan karnaval tingkat dunia seperti di Pasadena, Venesia, ataupun Rio de Janero, Brasil. Bahkan JFC telah memecahkan rekor dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri). “Tidak ada mimpi yang tak bisa jadi kenyataan, jangan takut bermimpi besar dan tularkan mimpi itu untuk kebaikan bersama,” pesan Mas Fariz alias Dynand dengan senyum bijaknya.


Sumber: Sinar Harapan 19 Juni 2007.

LeNdo NoVo


Ini adalah halamanku yang pertama di Sinar Harapan.

Tantangan
yang

menyenangkan :)